40 Kaidah Ushul Fiqih Beserta Contohnya



QOWA'ID AL-FIQH
Sabda Rasulullah SAW. :

"انما الاعمال بالنيات وانما لكل امرئ ما نوى رواه البخارى
Artinya:
“Segala sesuatu tergantung pada niatnya, dan apa yang didapatkan ialah apa yang telah diniatkan.” (HR. Bukhari).

Kaidah ke-1
الامور بمقاصدها
Segala sesuatu tergantung pada tujuannya.
Contoh kaidah:

Diwajibkannya niat dalam berwudhu, mandi, shalat dan puasa.

Penggunaan kata kiasan (kinayah) dalam talak. Seperti ucapann seorang suami kepada istrinya: انت خالية (engkau adalah wanita yang terasing). Jika suami bertujuan menceraikan dengan ucapannya tersebut, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika ia tidak berniat menceraikan maka tidak jatuh talak-nya.

Kaidah ke-2

ما يشترط فيه التعين فالخطأ فيه مبطل

Sesuatu yang memerlukan penjelasan, maka kesalahan dalam memberikan penjelasan menyebabkan batal. Contoh kaidah:
Seseorang yang melakukan shalat dhuhur dengan niat 'ashar atau sebaliknya, maka shalatnya tersebut tidak sah.
Kesalahan dalam menjelaskan pembayaran tebusan (kafarat) zhihar kepada kafarat qatl (pembunuhan).

Kaidah ke-3
ما يشترط التعرض له خملة ولا يشترط تعيينه تفصيلا اذا عينه واخطأ ضرَّ

Sesuatu yang memerlukan penjelasan secara global dan tidak memerlukan penjelasan secara rinci, maka ketika kesalahan dalam penjelasan secara rinci membahayakan.

Contoh kaidah :
Seseorang yang bernama Gandung S.P. Towo niat berjamaah kepada seorang imam bernama mbah Arief. Kemudian, ternyata bahwa yang menjadi imam bukanlah mbah Arief tapi orang lain yang mempunyai panggilan Seger (Khoirul Mustamsikin), maka shalat Gandung tidak sah karena ia telah berniat makmum dengan mbah Arief yang berarti telah menafikan mengikuti Seger. Perlu diketahui, bahwa dalam shalat berjamah hanya disyaratkan niat berjamaah tanpa adanya kewajiban menentukan siapa imamnya.

Kaidah ke-4

ما لا يشترط التعرض له خملة ولا تفصيلا اذا عينه واخطأ لم يضر
Sesuatu yang tidak disyaratkan penjelasannya secara global maupun terperinci ketika dita'yin dan salah maka statusnya tidaklah membahayakan.
Contoh kaidah :
Kesalahan dalam menentukan tempat shalat. Seperti mbah Muntaha (pengelolah kantin Asyiq) niat shalat di Kemranggen Bruno Purworejo, padahal saat itu dia berada di Simpar (suatu daerah yang di Kecamatan Kalibawang Wonosobo). Maka shalat mbah Muntaha tidak batal karena sudah adanya niat. sedangkan menentukan tempat shalat tidak ada hubungannya dengan niat baik secara globlal atau terperinci (tafshil).

Kaidah ke-5

مقاصد اللفظ على نية اللافظ
Maksud sebuah ucapan tergantung pada niat yang mengucapkan.
Contoh kaidah :
Temon adalah seorang pria perkasa (berasal dari daerah Babadsari Kutowinangun Kebumen). Teman kita yang satu ini konon katanya mempunyai seorang istri bernama Tholiq dan seorang budak perempuan bernama Hurrah. Suatu saat, Temon berkata; Yaa Tholiq, atau Yaa Hurrah. Jika dalam ucapan “Yaa Tholiq” Temon bermaksud menceraikan istrinya, maka jatuhlah talak kepada istrinya, namun jika hanya bertujuan memanggil nama istrinya, maka tidak jatuh talaknya. Begitu juga dengan ucapan “Yaa Hurrah” kepada budaknya jika Temon bertujuan memerdekakan, maka budak perempuan itu menjadi perempuan merdeka. Sebaliknya jika ia hanya bertujuan memanggil namanya, maka tidak menjadi merdeka.

Menambahkan lafal masyiah (insya Allah) dalam niat shalat dengan tujuan menggantungkan shalatnya kepada kehendak Allah SWT. maka batal shalatnya. Namun apabila hanya berniat tabarru’ maka tidak batal shalatnya, atau dengan menambahkan masyiah dengan tanpa adanya tujuan apapun, maka menurut pendapat yang sahih, shalatnya menjadi batal.

Kaidah ke-6
اليقين لا يزال بالشك
Keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keraguan.
Contoh kaidah :
Seorang bernama Doel Fatah ragu, apakah baru tiga atau sudah empat rakaat shalatnya? maka, Doel Fatah harus menetapkan yang tiga rakaat karena itulah yang diyakini.
Santri bernama Maid baru saja mengambil air wudhu di kolam depan komplek A PP. Putra An-Nawawi. Kemudian timbul keraguan dalam hatinya; "batal durung yo..? kayane aku nembe demek..." maka hukum thaharah-nya tidak hilang disebabkan keraguan yang muncul kemudian.
seseorang meyakini telah berhadats dan kemudian ragu apakah sudah bersuci atau belum, maka orang tersebut masih belum suci (muhdits).
Dibawah ini ialah kaidah yang esensinya senada dengan kaidah di atas:

ما ثبت بيقين لا يرتفع الا بيقين

Sesuatu yang tetap dengan keyakinan, maka tidak bisa dihilangkan kecuali dengan adanya keyakinan yang lain.

Kaidah ke-7

الاصل بقاء ما كان على ما كان
Pada dasarnya ketetapan suatu perkara tergantung pada keberadaannya semula.

Contoh kaidah :
Seseorang yang makan sahur dipenghujung malam dan ragu akan keluarnya fajar maka puasa orang tersebut hukumnya sah. Karena pada dasarnya masih tetap malam (al-aslu baqa-u al-lail).

Seseorang yang makan (berbuka) pada penghujung siang tanpa berijtihad terlebih dahulu dan kemudian ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, maka puasanya batal. Karena asalnya adalah tetapnya siang (al-ashl baqa-u al-nahr).

Kaidah ke-8

الاصل براة الذمة
hukum asal adalah tidak adanya tanggungan.

Contoh kaidah:
Seorang yang didakwa (mudda’a ‘alaih)melakukan suatu perbuatan bersumpah bahwa ia tidak melakukan perbuatan tersebut. Maka ia tidak dapat dikenai hukuman, karena pada dasarnya ia terbebas dari segala beban dan tanggung jawab. Permasalahan kemudian dikembalikan kepada yang mendakwa (mudda’i).

Kaidah ke-9

الاصل العدم
Hukum asal adalah ketiadaan

Contoh kaidah :
Kang Khumaidi mengadakan kerjasama bagi hasil (mudharabah) dengan Bos Fahmi. Dalam kerjasama ini Kang Khumaidi bertindak sebagai pengelola usaha (al-'amil), sedangkan Bos Fahmi adalah pemodal atau investornya. Pada saat akhir perjanjian, Kang Khumaidi melaporkan kepada Bos Fahmi bahwa usahanya tidak mendapat untung. Hal ini diingkari Bos Fahmi. Dalam kasus ini, maka yang dibenarkan adalah ucapan orang Bruna yang bernama Kang Khumaidi, karena pada dasarnya memang tidak adanya tambahan (laba).
Tidak diperbolehkannya melarang seseorang untuk membeli sesuatu. Karena pada dasarnya tidak adanya larangan (dalam muamalah).


Kaidah ke-10

الاصل فى كل واحد تقديره باقرب زمنه
Asal segala sesuatu diperkirakan dengan yang lebih dekat zamannya.

Contoh kaidah :
Mungkin karena kesal dengan seseorang wanita hamil yang kebetulan juga cerewet, maka tanpa pikir panjang Ipin -cah Jiwan Wonosobo- memukul perut si wanita hamil tersebut. Selang beberapa waktu si wanita melahirkan seorang bayi dalam keadaan sehat. Kemudian tanpa diduga-duga, entah karena apa si jabang bayi yang imut yang baru beberapa hari dilahirkan mendadak saja mati. Dalam kasus ini, Ipin tidak dikenai tanggungan (dhaman) karena kematian jabang bayi tersebut adalah disebabkan faktor lain yang masanya lebih dekat dibanding pemukulan Ipin terhadap wanita tersebut.

Seorang santri kelas II MDU bernama Soekabul alias Kabul Khan ditanya oleh teman sekamarnya; “Kang Kabul, aku melihat sperma di bajuku, tapi aku tidak ingat kapan aku mimpi basah. Gimana solusinya, Kang?”. Dengan PD-nya, karena baru saja menemukan kaidah “al-aslu fi kulli wahidin taqdiruhu bi-aqrobi zamanihi” saat muthala’ah Kitab Mabadi' Awwaliyah, santri yang demen banget lagu-lagu Hindia ini spontan menjawab; “Siro -red: kamu- wajib mandi besar dan mengulang shalat mulai sejak terakhir kamu bangun tidur sampai sekarang.”

Kaidah ke-11

المشقة تجلب التيسر
Kesulitan akan menarik kepada kemudahan.

Contoh kaidah :
Seorang bernama Godril yang sedang sakit parah merasa kesulitan untuk berdiri ketika shalat fardhu, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Begitu juga ketika ia merasa kesulitan shalat dengan duduk, maka diperbolehkan melakukan shalat dengan tidur terlentang.

Seseorang yang karena sesuatu hal, sakit parah misalnya, merasa kesulitan untuk menggunakan air dalam berwudhu, maka ia diperbolehkan bertayamum.

Pendapat Imam Syafi'i tentang diperbolehkannya seorang wanita yang bepergian tanpa didampingi wali untuk menyerahkan perkaranya kepada laki-laki lain”.

Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, antara lain:
Perkataan Imam al-Syafi'i:

الامر اذا ضاق اتسع
Sesuatu, ketika sulit, maka hukumnya menjadi luas (ringan).
Perkataan sebagian ulama:

الاشياء اذا ضاقت اتسع
Ketika keadaan menjadisempit maka hukumnya menjadi luas.

Allah SWT. berfirman dalam QS. Al-Baqarah (2): 185.
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

KERINGANAN HUKUM SYARA’
Keringanan hukum syara’ (takhfifat al-syar'i), meliputi 7 macam, yaitu:
Takhfif Isqat, yaitu keringanan dengan menggugurkan. Seperti menggugurkan kewajiban menunaikan ibadah haji, umrah dan shalat jumat karena adanya 'uzdur (halangan).

Takhfif Tanqis, yaitu keringanan dengan mengurangi. Seperti diperbolehkannya menqashar shalat.
Takhfif Ibdal, yaitu keringanan dengan mengganti. Seperti mengganti wudhu dan mandi dengan tayammum, berdiri dengan duduk, tidur terlentang dan memberi isyarat dalam shalat dan mengganti puasa dengan memberi makanan.

Takhfif Taqdim, yaitu keringanan dengan mendahulukan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' taqdim, mendahulukan zakat sebelum khaul (satu tahun), mendahulukan zakat fitrah sebelum akhir Ramadhan.

Takhfif Takhir, yaitu keringanan dengan mengakhirkan waktu pelaksanaan. Seperti dalam shalat jama' ta’khir, mengakhirkan puasa Ramadhan bagi yang sakit dan orang dalam perjalanan dan mengakhirkan shalat karena menolong orang yang tenggelam.

Takhfif Tarkhis, yaitu keringanan dengan kemurahan Seperti diperbolehkannya menggunakan khamr (arak) untuk berobat.

Takhfif Taghyir, yaitu keringanan dengan perubahan. Seperti merubah urutan shalat dalam keadaan takut (khauf).


Kaidah ke-12

الاشياء اذا اتسع ضاقت
Sesuatu yang dalam keadaan lapang maka hukumnya menjadi sempit.
Contoh kaidah :
Sedikit gerakan dalam shalat karena adanya gangguan masih ditoleransi, sedangkan banyak bergerak tanpa adanya kebutuhan tidak diperbolehkan.

Dari dua kaidah sebelumnya (kaidah ke-11 dan ke-12) Al-Gazali membuat sintesa (perpaduan) menjadi satu kaidah berikut ini:

كل ما تجوز حده انعكس الى ضده
Setiap sesuatu yang melampaui batas kewajaran memiliki hukum sebaliknya.

Kaidah ke-13
الضرر يزال
Bahaya harus dihilangkan.

Contoh kaidah:
Diperbolehkan bagi seorang pembeli memilih (khiyar) karena adanya 'aib (cacat) pada barang yang dijual.
Diperbolehkannya merusak pernikahan (faskh al-nikah) bagi laki-laki dan perempuan karena adanya 'aib.

Kaidah ke-14
الضررلا يزال بالضرر
Bahaya tidak dapat dihilangkan dengan bahaya lainnya.

Contoh kaidah:
Mbah Yoto dan Lutfi adalah dua orang yang sedang kelaparan, keduanya sangat membutuhkan makanan untuk meneruskan nafasnya. Mbah Yoto, saking tidak tahannya menahan lapar nekat mengambil getuk Asminah (asli produk gintungan) kepunyaan Lutfi yang kebetulan dibeli sebelumnya di warung Syarof CS. Tindakan mbah Yoto -walaupun dalam keadaan yang sangat menghawatirkan baginya- tidak bisa dibenarkan karena Lutfi juga mengalami nasib yang sama dengannya, yaitu kelaparan.

Kaidah ke-15
الضرورات تبيح المحظورات
Kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.

Contoh kaidah:
Ketika dalam perjalan dari Sumatra ke pondok pesantren An-Nawawi, ditengah-tengah hutan Kasyfurrahman alias Rahman dihadang oleh segerombolan begal, semua bekal Rahman ludes dirampas oleh mereka yang tak berperasaan -sayangnya Rahman tidak bisa seperti syekh Abdul Qadir al-Jailany yang bisa menyadarkan para begal- karenanya mereka pergi tanpa memperdulikan nasib Rahman nantinya, lama-kelamaan Rahman merasa kelaparan dan dia tidak bisa membeli makanan karena bekalnya sudah tidak ada lagi, tiba-tiba tampak dihadapan Rahman seekor babi dengan bergeleng-geleng dan menggerak-gerakkan ekornya seakan-akan mengejek si-Rahman yang sedang kelaparan tersebut. Namun malang juga nasib si babi hutan itu. Rahman bertindak sigap dengan melempar babi tersebut dengan sebatang kayu runcing yang dipegangnya. Kemudian tanpa pikir panjang, Rahman langsung menguliti babi tersebut dan kemudian makan dagingnya untuk sekedar mengobati rasa lapar. Tindakan Rahman memakan daging babi dalam kondisi kelaparan tersebut diperbolehkan. Karena kondisi darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
Diperbolehkan melafazdkan kalimat kufur karena terpaksa.

Kaidah lain yang kandungan maknanya sama adalah kaidah berikut:
لا حرام مع الضرورة ولا كراهة مع الحاجة
Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat dan tidak ada kata makruh ketika ada hajat

Kaidah ke-16
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
Sesuatu yang diperbolehkan karena keadaan darurat harus disesuaikan dengan kadar daruratnya.

Contoh kaidah: 
Dengan melihat contoh pertama pada kaidah sebelumnya, berarti Rahman yang dalam kondisi darurat hanya diperbolehkan memakan daging babi tangkapannya itu sekira cukup untuk menolong dirinya agar bisa terus menghirup udara dunia. selebihnya (melebihi kadar kecukupan dengan ketentuan tersebut) tidak diperbolehkan.

Sulitnya shalat jumat untuk dilakukan pada satu tempat, maka shalat jumat boleh dilaksanakan pada dua tempat. Ketika dua tempat sudah dianggap cukup maka tidak diperbolehkan dilakukan pada tiga tempat.

Kaidah ke-17
الحجة قد تنزل منزلة الضرورة
Kebutuhan (hajat) terkadang menempati posisi darurat.

Contoh kaidah:
Diperbolehkannya Ji'alah (sayembara berhadiah) dan Hiwalah (pemindahan hutang piutang) karena sudah menjadi kebutuhan umum.
Diperbolehkan memandang wanita selain mahram karena adanya hajat dalam muamalah atau karena khithbah (lamaran).

Kaidah ke-18
اذا تعارض المفسدتان رعي اعظمهما ضررا بارتكاب اخفهما
Ketika dihadapkan pada dua mafsadah (kerusakan) maka tinggalkanlah mafsadah yang lebih besar dengan mengerjakan yang lebih ringan.

Contoh kaidah:
Diperbolehkannya membedah perut wanita (hamil) yang mati jika bayi yang dikandungnya diharapkan masih hidup.

Tidak perbolehkannya minum khamr dan berjudi karena bahaya yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaat yang bisa kita ambil.

Disyariatkan hukum qishas, had dan menbunuh begal, karena manfaatnya (timbulnya rasa aman bagi masyarakat) lebih besar daripada bahayanya.
Diperbolehkannya seorang yang bernama Junaidi yang kelaparan, padahal ia tidak memiliki cukup uang untuk membeli makanan, untuk mengambil makanan Eko Setello yang tidak lapar dengan sedikit paksaan.

Kaidah ke-19
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Menolak mafsadah (kerusakan) didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.

Contoh kaidah:
Berkumur dan mengisap air kedalam hidung ketika berwudhu merupakan sesuatu yang disunatkan, namun dimakruhkan bagi orang yang berpuasa karena untuk menjaga masuknya air yang dapat membatalkan puasanya.

Meresapkan air kesela-sela rambut saat membasuh kepala dalam bersuci merupakan sesuatu yang disunatkan, namun makruh dilakukan oleh orang yang sedang ihram karena untuk menjaga agar rambutnya agar tidak rontok.

Kaidah ke-20
الاصل فى الابضاع التحريم
Hukum asal farji adalah haram.

Contoh kaidah:
Ketika seorang perempuan sedang berkumpul dengan beberapa temannya dalam sebuah perkumpulan majlis taklim, maka laki-laki yang menjadi saudara perempuan tersebut dilarang melakukan ijtihad untuk memilih salah satu dari mereka menjadi istrinya. Termasuk dalam persyaratan ijtihad adalah asalnya yang mubah, sehingga oleh karenanya perlu diperkuat dengan ijtihad. Sedangkan dalam situasi itu, dengan jumlah perempuan yang terbatas, dengan mudah dapat diketahui nama saudara perempuannya yang haram dinikahi dan mana yang bukan. Berbeda ketika jumlah perempuan itu banyak dan tidak dapat dihitung, maka terdapat kemurahan, sehingga oleh karenanya, pintu pernikahan tidak tertutup dan pintu terbukanya kesempatan berbuat zina.

Seseorang mewakilkan (al-muwakkil) kepada orang lain untuk membeli jariyah (budak perempuan) dengan menyebut cirri-cirinya. Ternyata, sebelum sempat menyerahkan jariyah yang dibelinya tersebut, orang yang telah mewakili (wakil) tersebut meninggal. Maka sebelum ada penjelasan yang menghalalkan, jariyah itu belum halal bagi muwakkil karena walaupun memiliki cirri-ciri yang disebutkannya, dikhawatirkan wakil membeli jariyah untuk dirinya sendiri.
Allah SWT. berfirman QS. Al-Mukminun (23) 5-7.
Artinya:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.”

Lebih jelasnya sesuai dengan ayat quran tersebut bahwa seorang budak halal bagi tuannya tetapi berhubung belum ada indikasi yang jelas mengenai kehalalannya sebagaimana contoh di atas maka budak tersebut belum halal bagi muwakkil (orang yang mewakilkan).


Kaidah ke-21
العادة محكمة
Adat bisa dijadikan sandaran hukum.

Contoh kaidah:
Seseorang menjual sesuatu dengan tanpa menyebutkan mata uang yang dikehendaki, maka berlaku harga dan maat uang yang umum dipakai.
Batasan sedikit, banyak dan umumnya waktu haidh, nifas dan suci bergantung pada kebiasaan (adapt perempuan sendiri).

Kaidah ke-22
ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا فى فى اللغة يرجع فيه الى العرف
Sesuatu yang berlaku mutlak karena syara' dan tanpa adanya yang membatasi didalamnya dan tidak pula dalam bahasa,maka segala sesuatunya dikembalikan kepada kebiasaan (al-"urf) yang berlaku.

Contoh kaidah :
Niat shalat cukup dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram, yakni dengan menghadirkan hati pada saat niat shalat tersebut.

Terkait dengan kaidah di atas, bahwasanya syara’ telah menentukankan tempat niat di dalam hati, tidak harus dilafalkan dan tidak harus menyebutkan panjang lebar, cukup menghadirkan hati; “aku niat shalat…………rakaaat”. itu sudah di anggap cukup.

Jual beli dengan meletakan uang tanpa adanya ijab qobul, menurut syara’ adalah tidak sah. Dan menjadi sah, kalau hal itu sudah menjadi kebiyasaan.

Kaidah ke-23

الاجتهاد لا ينقد بالاجتهاد
Ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lainnya.

Contoh kaidah:
Apabila dalam menentukan arah kiblat, ijtihad pertama tidak sama dengan ijtihat ke dua, maka digunakan ijtihad ke dua. Sedangkan ijtihad pertama tetap sah sehingga tidak memerlukan pengulangan pada rakaat yang dilakukan dengan ijtihad pertama. Dengan demikian, seseorang mungkin saja melakukan shalat empat rakaat dengan menghadap arah yang berbeda pada setiap rakaatnya.

Ketika seorang hakim berijtihad untuk memutuskan hukum suatu perkara, kemudian ijtihadnya berubah dari ijtihad yang pertama maka ijtihad yang pertama tetap sah (tidak rusak).

Kaidah ke-24
الاء يثار بالعبادة ممنوع
Mendahulukan orang lain dalam beribibadah adalah dilarang.

Contoh kaidah:
Mendahulukan orang lain atau menempati shaf awal (barisan depan) dalam shalat.
Mendahulukan orang lain untuk menutup aurat dan menggunakan air wudhu. Artinya, ketika kita hanya memiliki sehelai kain untuk menutup aurat, sedangkan teman kita juga membutuhkannya, maka kita tidak boleh memberikan kain itu kepadanya karena akan menyebabkan aurat kita terbuka. Begitu pula dengan air yang akan kita gunakan untuk bersuci, maka kita tidak boleh menggunakan air tersebut. Karena hal ini berkaitan dengan ibadah.
Firman Allah SWT dalam Qs. Al-Baqarah (2):148.
" …Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan…"

Kaidah ke-25
الاء يثار بغيرالعبادة مطلوب
Mendahulukan orang lain dalam selain ibadah dianjurkan.
Contoh kaidah:
Mendahulukan orang dalam menerima tempat tinggal (Almaskan).
Mendahulukan orang lain untuk memilih pakaian.
Mempersilahkan orang lain untuk makanan lebih dulu.
Firman Allah SWT. Dalam QS. Al-Hasr (59):9.

Artinya:
“Dan orang-orang yang Telah menempati kota Madinah dan Telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung.”

Kaidah ke-26

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
Kebijakan pemimpin atas rakyatnya dlakukan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.

Contoh kaidah:
Seorang pemimpin (imam) dilarang membagikan zakat kepada yang berhak (mustahiq) dengan cara membeda-bedakan diantara orang-orang yang tingkat kebutuhannya sama.

Seorang pemimpin pemerintahan, sebaiknya tidak mengankat seorang fasiq menjadi imam shalat. Karena walaupun shalat dibelakangnya tetap sah, namun hal ini kurang baik (makruh).

Seorang pemimpin tidak boleh mendahulukan pembagian harta baitul mal kepada seorang yang kurang membutuhkannya dan mengakhirkan mereka yang lebih membutuhkan.

Rasulullah SAW. bersabda :
كلكم راع وكلكم مسؤل عن رعيته
Artinya :
“Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan setiap dsari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan”.

Kaidah ke-27
الحدود تسقط بالشبهات
Hukum gugur karena sesuatu yang syubhat.

Contoh kaidah:
Seorang laki-laki tidak dikenai had, ketika melakukan hubungan seksual dengan wanita lain yang disangka istrinya (wathi syubhat).

Seseorang melakukan hubungan seks dalam nikah mut'ah, nikah tanpa wali atau saksi atau setiap pernikahan yang dipertentangkan, tidak dapat dikenai had sebab masih adanya perbedaan pendapat antara ulama, sebagian membolehkan nikah mut'ah dan nikah tanpa wali dan sebagian lagi berpendapat sebalikannya.

Orang mencuri barang yang disangka sebagai miliknya, atau milik bapaknya, atau milik anaknya, maka orang tersebut tidak dikenai had.

Orang meminum khamr (arah) untuk berobat tidak dikenai had karena masih terdapat khilaf antar ulama'.

قال النبي صلى الله عليه وسلم : ادرؤا الحدود بالشبهات
Artinya:
Nabi SAW. bersabda: Tinggalkanlah oleh kamu sekalian had-had dikarenakan (adanya) berbagai ketidak jelasan.

Kaidah ke-28

ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب

Sesuatu yang karena diwajibkan menjadi tidak sempurna kecuali dengan keberadaannya,maka hukumnya wajib.
Contoh Kaidah:
Wajib membasuh bagian leher dan kepala pada saat membasuh wajah saat berwudhu.
Wajibnya membasuh bagian lengan atas dan betis (wentis) pada saat membasuh lengan dan kaki.
Wajibnya menutup bagian lutut pada saat menutup aurat bagi laki-laki dan wajibnya dan wajibnya menutup bagian wajah bagi wanita.

Kaidah ke-29"

الخروج من الخلاف مستحبٌّ
Keluar dari perbedaan pendapat hukumnya sunat (mustahab).
Contoh kaidah:
Disunatkan menggosok badan (dalk) ketika bersuci dan memeratakan air ke kepala dengan mengusapkannya, dan tujuan keluar dari khilafdengan imam malik berpendapat bahwa dalk dan isti'ab al-ro'sy (meneteskan kepala dengan air) adalah wajib hukumnya.

Disunatkan membasuh sperma, yang menurut imam malik wajib hukumnya.
Sunah men-qashar shalat dalam perjalanan yang mencapai tiga marhalah, karena keluar dari khilaf dengan Abu hanifah yang mewajibkannya.

Disunatkan untuk tidak menghadap atau membelakangi arah kiblat ketika membuang hajat, walaupun dalam sebuah ruangan atau adanya penutup, karena untuk keluar dari khilaf imam Tsaury yang mewajibkannya.
Untuk mengatasi perbedaan diperlukan beberapa syarat sebagai berikut:

Upaya mengatasi perbedaan tidak menyebabkan jatuh pada perbedaan lain. Seperti lebih diutamakan memisahkan shalat witir (tiga rakaat dengan dua salam) dari pada melanjutkanya. Dalam hal ini pendapat Imam Abu Hanafiah tidak dipertimbangkan karena adanya ulama yang tidak membolehkan witir dengan digabungkan

Tidak bertentangan dengan sannah yang tepat (al-sannah al-tsabilah). Seperti disunatkannya mengangkat kedua tangan dalam shalat, walaupun seorang ulama Hanafiah menganggap hal ini dapat membatalkan shalat. Menurut riwayat lima puluh orang sahabat, Nabi SAW sendiri melakukan shalat dengan mengangkat kedua tangannya.

Kautnya temuan tentang bukti perbedaan, sehingga kecil kemungkinan terulangnya keslahan serupa. Dengan alas an itu, maka berpuasa bagi musafir yang mampu menahan lapar dan dahaga aladah utama, dan tidak dipertimbangkan adanya pendapat para kaum Zahiruasa musafir itu tidak sah.

Kaidah ke-30
الرخصة لاتناط بالمعاصى
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan maksiat.

Contoh kaidah:
Orang yang bepergian karena maksiat, tidak boleh mengambil kemurahan hukum karena berpergiannya, seperti; mengqashar dan menjama’ shalat, dan membatalkan puasa.

Orang yang berpergian karena maksiat, walaupun dalam kondisi terpaksa juga tidak diperbolehkan memakan bangkai dan daging babi.

Kaidah ke-31

الرخصة لاتناط بالشكّ
Keringanan hukum tidak bisa dikaitkan dengan keraguan.

Contoh kaidah:
Dalam perjalanan pulang ke Grabag Magelang, Abdul Aziz merasa ragu mengenai jauh jarak yang ditempuh dalam perjalan tersebut, apakah sudah memenuhi syarat untuk meng-qashar shalat atau belum. Dalam kondisi semacam ini, kang Aziz tidak boleh meng-qashar shalat.

Seorang yang bimbang apakah dirinya hadats pada waktu dhuhur atau ashar, maka yang harus diyakini adalah hadats pada waktu dhuhur.

Kaidah ke-32
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
Sesuatuyang banyak aktifitasnya, maka banyak pula keutamaanya.

Contoh kaidah:
Shalat witir dengan fashl (tiga rakaat dengan dua salam) lebih utama dari pada wasl (tiga rakaat dengan satu salam) karena bertambahnya niat,takbir dan salam.

Orang melakulan shalat sunah dengan duduk, maka pahalanya setengan dari pahala orang yang shalat sambil berdiri. Orang yang shalat tidur mirung, maka pahalanya adalah setengah dari orang yangh shalat dengan duduk.

Memishkan pelaksanaan antara ibadah haji dengan umrah adalah lebih utama dari pada melaksanakan bersama-sama.

Rasulullah SAW. bersabda:

اجرك على قدر نصبك رواه مسلم
Artinya:
“Besarnya pahalamu tergantung pada usahamu. (HR. Muslim)

Kaidah ke-33

ما لا يدرك كله لا يترك كله
Jika tidak mampu mengerjakan secara keseluruhan maka tidak boleh meninggalkan semuanya

Contoh kaidah:
Seorang yang tidak mampu berbuat kebajikan dengan satu dinar tetapi mampu dengan dirham maka lakukanlah.

Seserang yang tidak mampu untuk mengajar atau belajar berbagai bidang studi (fan) sekaligus, maka tidak boleh meninggalkan keseluruhannya.

Seseorang yang merasa berat untuk melakukan shalat malam sebanyak sepuluh rakaat, maka lakukanlah shalat malam empat rakaat.

Kaidah yang semakna dengan kaidah di atas, adalah perkataan ulama ahli fiqh:

ما لا يدرك كله لا يترك بعضه
Sesuatu yang tidak dapat ditemukan keseluruhannya, maka tidak boleh tinggalkan sebagiannya.

Kaidah ke-34

الميسور لا يسقط بالمعسور
Sesuatu yang mudah tidak boleh digugurkan dengan sesuatu yang sulit.

Contoh kaidah:
Seorang yang terpotong bagian tubuhnya, maka tetap wajib baginya membasuh anggota badan yang tersisah ketika bersuci.

Seseorang yang mampu menutup sebagian auratnya, maka ia wajib menutup aurat berdasarkan kemampuannya tersebut.

Orang yang mampu membaca sebagian ayat dari surat Al-Fatihah, maka ia wajib membaca sebagian yang ia ketahui tersebut.

Orang yang memiliki harta satu nisab, namun setengah darinya berada ditempat jauh (ghaib) maka harus dikeluarkan untuk zakat adalah harta yang berada ditangannya.

Nabi SAW. bersabda :

وما امرتكم به فأتوا منه ما استطعتم. رواه شيخان
Artinya:
“Sesuatu yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari Muslim)

Kaidah ke-35

ما حرم فعله حرم طلبه
Sesuatu yang haram untuk dikerjakan maka haram pula mencarinya.

Contoh kaidah:
Mengambil riba atau upah perbuatan jahat.
Mengambil upah dari tukang ramal risywah (suapan). Begitu pula dengan upah orang-orang yang meratapi kematian orang lain.

Kaidah ke-36
ما حرم اخذه حرم اعطاؤه
Sesuatu yang haram diambil,maka haram pula memberikannya.

Contoh kaidah :
Memberikan riba atau upah perbuatan jahat kepada orang lain.
Memberikan upah hasil meramal dan risywah kepada orang lain. Termasuk juga upah meratapi kematian orang lain.

Kaidah ke-37

الخير المتعدي افضل من القاصر
kebaikan yang memiliki dampak banyak lebih utama daripada yang manfaatnya sedikit (terbatas).

Contoh kaidah:
Mengajarkan ilmu lebih utama daripada shalat sunah.
Orang yang menjalankan fardhu kifayah lebih istimewa karena telah menggugurkan dosa umat daripada orang yang melakukan fardhu 'ain.

Kaidah ke-38
الرضى بالشيء رضى بما يتولد منه
Rela akan sesuatu berarti rela dengan konsekuensinya.

Contoh kaidah:
Menerima suami istri dengan kekurangan yang dimiliki salah satu dari keduanya. Maka tidak boleh mengembalikan kepada walinya.

Seseorang memita tangannya di potong dan berakibat kepada rusaknya anggota tubuh yang lain, maka orang tersebut tidak boleh menuntut kepada pemotong tangan.

Memakai wangi-wangian sebelum melaksanankan ihram, teapi wanginya bertahan sampai waktu ihram maka tidak dikenahi fidyah.

Kaidah yang memiliki makna sama dengan kaidah di atas yaitu : 

المتولد من مأذون لا اثر له
Hal-hal yang timbul dari sesuatu yang telah mendapat ijin tidak memiliki dampak apapun.

Kaidah ke-39

الحكم يدور مع العلة وجودا وعدما
Hukum itu berputar beserta 'illatnya, baik dari sisi wujudnya maupun ketiadaannya’illatnya.

Contoh kaidah :
Alasan diharamkannya arak (khamr) adalah karena memabukkan. Jika kemudian terdeteksi bahwa arak tidak lagi memabukkan seperti khamr yang telah berubah menjadi cuka maka halal.


Memasuki rumah orang lain atau memakai pakaiannya tanpa adanya ijin adalah haram hukumnya. Namun ketika namun ketika diketahui bahwa pemiliknya merelakan, maka tidak ada masalah didalamnya (boleh).

Alasan diharamkannya minum racun karena adanya unsur merusakkan. Andaikata unsure yang merusakkan itu hilang, maka hukumnya menjadi boleh.

قال النبي صلى الله عليه وسلم كل مشكر خمر وكل خمر حرام
Nabi SAW. bersabda:
Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya haram.

Kaidah ke-40
الاصل فى الآ شياء الاءباحة
Hukum ashal (pada dasarnya) segala sesuatu itu diperbolehkan.

Contoh kaidah :
Dua sahabat bernama Lukman dan Rahmat Taufiq jalan-jalan ke Jakarta. Setelah lama muter-muter sambil menikmati indahnya ibu kota, perut kedua bocah ndeso tersebut protes sambil berbunyi nyaring alias kelaparan. Akhirnya setelah melihat isi dompet masing-masing keduanya memutuskan untuk mampir makan di restourant yang lumayan mewah tapi kemudian keduanya ragu apakah daging pesenannya itu halal atau haram. Dengan mempertimbangkan makna kaidah diatas, maka daging itu boleh dimakan.

Tiba-tiba ada seekor merpati yang masuk ke dalam sangkar burung milik Koci. ketika pemilik sangkar (Koci) melihat merpati tersebut dia merasa tertarik dan ingin memilikinya, namun Koci masih ragu apakah dia boleh memeliharanya atau tidak. Maka hukumnya burung merpati tersebut boleh atau bebas untuk dimiliki.
Ketika ragu akan besar kecilnya kadar emas yang digunakan untuk menambal suatu benda maka hukum benda tersebut boleh untuk digunakan.

Memakan daging Jerapah diperbolehkan, sebagaimana al-Syubki berkata sesungguhnya memakan daging Jerapah hukumnya mubah.

قال النبي صلى الله عليه وسلم ما احل الله فهو حلال وما حرم الله فهو حرام وما سكت عنه فهو مما عفو
Nabi SAW. bersabda :
" Sesuatu yang dihalalkan Allah adalah halal dan sesuatu yang diharamkan Allah adalah haram. Sedangkan hal-hal yang tidak dijelaskan Allah merupakan pengampunan dari-Nya."

﴿ والله اعلم ﴾

17 Responses to "40 Kaidah Ushul Fiqih Beserta Contohnya"

  1. assalamualaikum,,
    maaf mas boleh minta refrensinya, buat belajar lebih dalam lagi dan kalau saya di tanya nggak gagap2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bisa di
      Al asybah wan nadzoir
      Al faraid Al bahiyyah
      Al Ghurar Al bahiyyah

      Dll

      Delete
  2. Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
    Kaos Dakwah Eksklusif

    Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
    Tips Menjaga Hubungan

    ReplyDelete
  3. Maaf ini authornya siapa... Jdi kepo tulisanx bagus

    ReplyDelete
  4. Ini kaidah fiqhiyah, bukan kaidah ushuliyah

    ReplyDelete
  5. Pada kaidah ke 3 tertulis خملة bukankah seharusnya جملة

    ReplyDelete
  6. Assalamualaiku . Boleh beri nukilan dari mana?

    ReplyDelete
  7. Ini kaidah Ushul Fiqih, Kaidah Ushuliyyah, atau Kaidah Fiqhiyyah?? Coba baca2 lagi min.. saring sebelum sharing, krn anda akan berbagi pemahaman kpd orang lain.

    ReplyDelete
  8. Ma Sya Allah...Tabarakallah..
    👍terbaik TGDS..,.kene copy paste nih

    ReplyDelete