Kisah Seorang Yang Bertaubat karena sepucuk surat


Di sebuah desa di tanah Arab, ada salah satu keluarga yang hidupnya serba kekurangan. Kepala keluarga ini sebut saja namanya Abbad. Ia mempunyai seorang istri dan 2 anak yang masih kecil. Abbad di desanya terkenal sebagai orang yang malas bekerja. Untuk menyambung hidup, tidak jarang istrinya diperintahkan untuk mencari uang.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah sedang berjalan-jalan untuk melakukan perjalanan jauh sambil berdakwah. Ketika sampai di depan rumah Abbad, Imam Abu Hanifah mendengar suara orang yang mengeluh dan menangis tersedu-sedu. Dan kebetulan kala itu Abbad sedang mengadu dengan suara agak keras.

”Alangkah malangnya nasibku ini, agaknya tiada seorang pun yang lebih malang dari nasibku ini. Sejak dari pagi aku dan keluargaku belum makan, sehingga seluruh badanku menjadi lemah. Mudah-mudahan saja ada orang yang mendengar rintihanku dan memberi sedekah,” keluh Abbad.

Imam Abu Hanifah pun tersentuh dengan rinihan itu. Ia memutuskan pulang kembali ke rumah. Abu Hanifah mengambil uang, makana serta selembar surat lantas membungkusnya dengan kertas. Bungkusan itu hendak diberikan kepada Abbad.

Setelah sampai di rumah orang fakir miskin itu, Abu Hanifah langsung melemparkan bungkusan yang dibawanya. ”Mudah-mudahan dengan bantuan ini, dia sudah tidak menderita lagi,” ujar Abu Hanifah dengan suara pelan.

Setelah dekat dengan jendela rumah Abbad, bungkusan dilempar, kemudian Abu Hanifah meneruskan perjalanan. Mendapat bungkusan secara tiba-tiba itu, tentu saja membuat Abbad terkejut. Setelah dibuka, ternyata bungkusan itu berisi uang, makanan serta secarik kertas.
Kertas itu bertuliskan,
”Wahai manusia, sesungguhnya tidak wajar kamu mengeluh sedemikian itu. Kamu tidak perlu mengeluhkan nasibmu. Inghatlah kepada kemurahan Allah, dan cobalah bermohon kepada-Nya dengan bersungguh-sungguh. Jangan suka berputus asa, wahai kawan, tetapi berusahalah terus.”

Beberapa hari kemudian, Imam Abu Hanifah ingin meneruskan perjalanan lagi sambil berdakwah. Untuk itulah dia ingin berjalan melewati rumah Abbad.  Abu Hanifah berfikir, siapa tahu setelah diberi tulisan itu Abbad akan sadar. Akan tetapi harapan Imam Abu Hanifah ternyata gagal, karena ia masih mendengar suara keluhan itu lagi dari dalam rumah Abbad.

”Astaghfirullah...orang ini ternyata tidak mau sadar juga dengan tulisan yang saya berikan,” tutur Abu Hanifah dalam hati. Imam Abu Hanifah berhenti lagi, lalu mendengar suara rintahan lagi dari Abbad,
”Ya Allah, ya Tuhan Yanga Maha Belas Kasih dan Pemurah, sudilah kiranya memberikan bungkusan lain seperti kemarin, sekedar untuk menyenangkan hidupku yang melarat ini. Sungguh jika Allah tidak memberi akan lebih sengsaralah hidupku.”

Mendengar keluhan itu lagi, Imam Abu Hanifah tidak melanjutkan perjalanan. Ia kembali pulang ke rumahnya kemudian ia membuat bungkusan seperti yang pertama, ada uang, makanan dan surat untuk diberikan kepada Abbad.

Setelah dekat dengan jendela rumah Abbad, Imam Abu Hanifah melempar bungkusan lagi, kemudian Abu Hanifah melanjutkan perjalanannya.

Mendapat bungkusan lagi, Abbad senang bukan kepalang. Lantas bungkusan itu dibukanya dan seperti yang pertama, tetap ada secarik kertas. Surat itu dibacanya,
”Wahai kawan, bukan begitu caramu memohon. Bukan demikian cara berikhtiar dan berusaha, perbuatan demikian namanya malas. Putus asa kepada kebenaran dan kekuasaan Allah. Sungguh Allah tidak ridha melihat orang yang pemalas dan putus asa, tidak mau bekerja untuk keselamatan dirinya.”

Abbad berhenti sejenak membaca surat itu sambil merenungi isi suratnya.Kemudian ia membacanya lagi.
”Kawan, jangan berbuat demikian.Hendaknya kamu bekerja yang halal meski gajinya sedikit. Dan bekerjalah dengan suka rela dan berusahalah jangan berdiam diri di rumah. Rezeki Allah tidak bisa datang dengan sendirinya, tapi harus dicari. Orang hidup tidak disuruh untuk duduk diam saja, tetapi harus bekerja dan berusaha. Allah tidak akan memperkenankan permohonan orang yang malas bekerja.”

Abbad berhenti lagi sejenak dan berfikir tentang isi surat itu. Ia mengambil nafas lalu meneruskan membaca surat itu. ”Allah tidak akan mengabulkan doa orang yang berputus asa. Oleh sebab itu, carilah pekerjaan yang halal untuk kesenangan dirimu. Berikhtiarlah dengan segera. Insya Allah, akan dapat juga pekerjaan itu selama kamu tidak berputus asa. Carilah segera pekerjaan, saya doakan semoga lekas berjaya.”

Setelah membaca surat itu, Abbad termenung, sesaat kemudian dia insyaf dan sadar akan perbuatannya selama ini.

Pada keesokan harinya dia pun keluar rumah untuk mencari pekerjaan.

Sejak dari hari itu, sikapnya pun berubah total, dia mengikuti sunnah Allah dan ia tidak pernah melupakan nasehat dari surat yang ia baca.  Tak berapa lama kemudian ia sudah mendapat pekerjaan meski gajinya hanya sedikit. Ia mulai giat bekerja untuk menghidupi keluarganya.

0 Response to "Kisah Seorang Yang Bertaubat karena sepucuk surat"

Post a Comment