Hukum Membaca SHALAWAT NARIYAH


SHALAWAT NARIYAH
Dialog bersama Wahabi

Wahabi: “Mengapa Anda membaca shalawat Nariyah, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkannya?”

Sunni: “Secara redaksional tidak pernah dianjurkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi secara esensial, yang namanya shalawat tetap dianjurkan untuk dibaca. Dalam al-Qur’an dan hadits-hadits shahih, anjuran membaca shalawat bersifat umum, artinya dalam redaksi apapun, baik yang diajarkan oleh baginda maupun tidak, hal ini seperti yang dipahami oleh para sahabat.”

Wahabi: “Apa tidak sebaiknya membaca shalawat Ibrahimiyah saja. Itu kan langsung dari Nabi?”
Sunni: “Shalawat Ibrahimiyah kami baca dalam shalat secara rutin. Sedangkan di luar shalat, kami bebas membaca shalawat dengan redaksi apapun. Saya kira kelompok Anda tidak ada perkumpulan membaca shalawat Ibrahimiyah?
Sedangkan ajakan Anda yang menyalahkan orang membaca shalawat dengan redaksi lain, justru melanggar sunnah.”

Wahabi: “Kok bisa?”
Sunni: “Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menghardik atau menegur seseorang karena membaca dzikir dengan redaksi susunan sendiri. Bahkan menghargai dan memberi motivasi.”

Wahabi: “Ada dalilnya?”
Sunni: “Maaf, dalam masalah ini dalilnya banyak sekali. Kamu perlu berapa dalil?”

Wahabi: “Dua saja kalau ada.”
Sunni: “Baik kalau begitu. Dalil pertama, sahabat Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallaahu ‘anhu berkata:
كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ: أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا».

“Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”.

Hadits shahih diriwayatkan oleh al-Bukhari (799), al-Nasa’i (1016), Abu Dawud (770), Ahmad (4/340) dan Ibn Khuzaimah (614).

Sahabat di atas membuat bacaan baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bacaan dzikir dalam dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan perbuatannya, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang ia lakukan, karena perbuatannya sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya logika berpikir Anda, yang mengajak orang meninggalkan shalawat Nariyah itu sesuai dengan sunnah, tentu baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan bersabda kepada laki-laki di atas, sebaiknya baca saja dzikir yang aku ajarkan, jangan baca yang lain. Ternyata baginda tidak demikian caranya dalam berdakwah, justru menghargai dan memberikan motivasi untuk melakukan inovasi dalam agama.
Dalil kedua, sahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِأَعْرَابِيٍّ وَهُوَ يَدْعُوْ فِيْ صَلاتِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: يَا مَنْ لاَ تَرَاهُ الْعُيُوْنُ وَلاَ تُخَالِطُهُ الظُّنُوْنُ وَلاَ يَصِفُهُ الْوَاصِفُوْنَ وَلاَ تُغَيِّرُهُ الْحَوَادِثُ وَلاَ يَخْشَى الدَّوَائِرَ يَعْلَمُ مَثَاقِيْلَ الْجِبَالِ وَمَكَايِيْلَ الْبِحَارِ وَعَدَدَ قَطْرِ اْلأَمْطَارِ وَعَدَدَ وَرَقِ اْلأَشْجَارِ وَعَدَدَ مَا أَظْلَمَ عَلَيْهِ اللَّيْلُ وَأَشْرَقَ عَلَيْهِ النَّهَارُ لاَ تُوَارِيْ مِنْهُ سَمَاءٌ سَمَاءً وَلاَ أَرْضٌ أَرْضًا وَلاَ بَحْرٌ مَا فِيْ قَعْرِهِ وَلاَ جَبَلٌ مَا فِيْ وَعْرِهِ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِي آخِرَهُ وَخَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِمَهُ وَخَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ أَلْقَاكَ فِيْهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ دَعَاهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَوَهَبَ لَهُ ذَهَبًا وَقَالَ لَهُ وَهَبْتُ لَكَ الذَّهَبَ لِحُسْنِ ثَنَائِكَ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.

“Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan laki-laki a’rabi (pedalaman) yang sedang berdoa dalam shalatnya dan berkata: “Wahai Tuhan yang tidak terlihat oleh mata, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak dapat diterangkan oleh para pembicara, tidak diubah oleh perjalanan waktu dan tidak terancam oleh malapetaka; Tuhan yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah tetesan air hujan, jumlah daun-daun pepohonan, jumlah segala apa yang ada di bawah gelapnya malam dan terangnya siang, satu langit dan satu bumi tidak menghalanginya ke langit dan bumi yang lain, lautan tidak dapat menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya, jadikanlah umur terbaikku akhirnya, amal terbaikku pamungkasnya dan hari terbaikku hari aku bertemu dengan-Mu.” Setelah laki-laki a’rabi itu selesai berdoa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan memberinya hadiah berupa emas dan beliau berkata kepada laki-laki itu: “Aku memberimu emas itu karena pujianmu yang bagus kepada Allah ‘azza wa jalla”.

Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath (9447) dengan sanad yang jayyid.
Hadits ini menunjukkan hukum kebolehan dan anjuran berdoa dengan doa-doa yang susunan redaksinya bagus, meskipun belum pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menegur si a’rabi yang berdoa dengan susunannya sendiri, juga tidak berkata kepadanya: “Mengapa kamu berdoa dengan doa yang belum pernah aku ajarkan”? Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memujinya dan memberinya hadiah. Hal ini berarti motivasi dan dorongan kepada umat Islam untuk terus berkarya dalam bacaan dzikir yang susunan redaksinya bagus.”
Wahabi: “Dzikir di atas kan doa, bukan redaksi shalawat.”

Sunni: “Berarti menurut Anda, boleh dan dianjurkan membaca dzikir yang berupa doa, dengan susunan sendiri? Padahal shalawat juga doa dan dzikir.”

Wahabi: “Apakah ulama salaf juga memahami begitu, bahwa shalawat juga boleh dan dianjurkan dengan redaksi susunan sendiri yang belum pernah diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Sunni: “Justru dalam pemahaman para sahabat dan ulama salaf, shalawat juga dianjurkan dengan susunan sendiri. Kalau Anda mau, silahkan Anda baca kitab Jila’ al-Afham, kitab shalawat yang disusun oleh Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, murid Syaikh Ibnu Taimiyah, banyak sekali susunan shalawat yang disusun oleh para sahabat dan kaum salaf. Misalnya riwayat dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu yang berkata:

إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَأَحْسِنُوا الصَّلاةَ عَلَيْهِ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُوْنَ لَعَلَّ ذَلِكَ يُعْرَضُ عَلَيْهِ، فَقَالُوْا لَهُ: فَعَلِّمْنَا، قَالَ: قُوْلُوْا: اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَوَاتِكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ الْمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ إِمَامِ الْخَيْرِ وَقَائِدِ الْخَيْرِ وَرَسُوْلِ الرَّحْمَةِ، اللَّهُمَّ ابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا يَغْبِطُهُ بِهِ اْلأَوَّلُوْنَ وَاْلآخِرُوْنَ.

“Apabila kalian bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka buatlah redaksi shalawat yang bagus kepada beliau, siapa tahu barangkali shalawat kalian itu diberitahukan kepada beliau.” Mereka bertanya: “Ajari kami cara shalawat yang bagus kepada beliau.” Beliau menjawab: “Katakan, ya Allah jadikanlah segala shalawat, rahmat dan berkah-Mu kepada sayyid para rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa, pamungkas para nabi, yaitu Muhammad hamba dan rasul-Mu, pemimpin dan pengarah kebaikan dan rasul yang membawa rahmat. Ya Allah anugerahilah beliau maqam terpuji yang menjadi harapan orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian.”

Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Ibn Majah (906), Abdurrazzaq (3109), Abu Ya’la (5267), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir (9/115) dan Ismail al-Qadhi dalam Fadhl al-Shalat (hal. 59). Hadits ini juga disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim –ideolog kedua faham Wahabi– dalam kitabnya Jala’ al-Afham (hal. 36 dan hal. 72).

Perhatikan dalam hadits di atas, sahabat Abdullah bin Mas’ud menganjurkan dan mengajarkan menyusun dan membaca shalawat dengan redaksi yang baik. Menurut kami, keilmuan sahabat Ibnu Mas’ud lebih menenteramkan hati kami, daripada keilmuan para ulama Wahabi yang melarang membaca shalawat susunan para ulama. Kami lebih memilih cara berpikir sahabat Ibnu Mas’ud, daripada cara berpikir ulama Wahabi, yang hidup pada masa akhir.

Kedua, sahabat Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalaam:

عَنْ سَلاَمَةَ الْكِنْدِيِّ قَالَ، كَانَ عَلِيٌّ عليه السلاة يُعَلِّمُ النَّاسَ الصَّلاةَ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ دَاحِيَ الْمَدْحُوَّاتِ، وَبَارِئَ الْمَسْمُوْكَاتِ، وَجَبَّارَ الْقُلُوْبِ عَلَى فِطْرَتِهَا شَقِيِّهَا وَسَعِيْدِهَا، اجْعَلْ شَرَائِفَ صَلَوَاتِكَ وَنَوَامِيَ بَرَكَاتِكَ وَرَأْفَةَ تَحَنُّنِكَ، عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ، الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ، وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالْمُعْلِنِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ، وَالدَّامِغِ لِجَيْشَاتِ اْلأَبَاطِيْلِ كَمَا حُمِّلَ، فَاضْطَلَعَ بِأَمْرِكَ بِطَاعَتِكَ، مُسْتَوْفِزًا فِيْ مَرْضَاتِكَ، بِغَيْرِ نَكْلٍ فِيْ قَدَمٍ وَلاَ وَهْيٍ فِيْ عَزْمٍ، وَاعِيًا لِوَحْيِكَ، حَافِظًا لِعَهْدِكَ، مَاضِيًا عَلَى نَفَاذِ أَمْرِكَ، حَتَّى أَوْرَى قَبَسًا لِقَابِسٍ، آلآء اللهِ تَصِلُ بِهِ أَسْبَابَهُ، بِهِ هُدِيَتِ الْقُلُوْبُ بَعْدَ خَوْضَاتِ الْفِتَنِ وَاْلإِثْمِ، وَأَبْهَجَ مُوْضِحَاتِ اْلأَعْلاَمِ وَنَائِرَاتِ اْلأَحْكَامِ وَمُنِيْرَاتِ اْلإِسْلاَمِ، فَهُوَ أَمِيْنُكَ الْمَأْمُوْنُ وَخَازِنُ عِلْمِكَ الْمَخْزُوْنِ وَشَهِيْدُكَ يَوْمَ الدِّيْنِ وَبَعِيْثُكَ نِعْمَةً وَرَسُوْلُكَ بِالْحَقِّ رَحْمَةً، اللَّهُمَّ افْسَحْ لَهُ فِيْ عَدْنِكَ وَاجِزِهِ مُضَاعَفَاتِ الْخَيْرِ مِنْ فَضْلِكَ لَهُ مُهَنَّئَاتٍ غَيْرَ مُكَدَّرَاتٍ مِنْ فَوْزِ ثَوَابِكَ الْمَحْلُوْلِ وَجَزِيْلِ عَطَائِكَ الْمَعْلُوْلِ اللَّهُمَّ أَعْلِ عَلَى بِنَاءِ النَّاسِ بِنَاءَهُ وَأَكْرِمْ مَثْوَاهُ لَدَيْكَ وَنُزُلَهُ وَأَتْمِمْ لَهُ نُوْرَهُ وَاجْزِهِ مِنِ ابْتِعَاثِكَ لَهُ مَقْبُوْلَ الشَّهَادَةِ وَمَرْضِيَّ الْمَقَالَةِ ذَا مَنْطِقٍ عَدْلٍ وَخُطَّةٍ فَصْلٍ وَبُرْهَانٍ عَظِيْمٍ.

“Salamah al-Kindi berkata: “Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam mengajarkan kami cara bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata: “Ya Allah, pencipta bumi yang menghampar, pencipta langit yang tinggi, dan penuntun hati yang celaka dan yang bahagia pada ketetapannya, jadikanlah shalawat-Mu yang mulia, berkah-Mu yang tidak terbatas dan kasih sayang-Mu yang lembut pada Muhammad hamba dan rasul-Mu, pembuka segala hal yang tertutup, pamungkas yang terdahulu, penolong agama yang benar dengan kebenaran dan penakluk bala tentara kebatilan seperti yang dibebankan padanya, sehingga ia bangkit membawa perintah-Mu dengan tunduk kepada-Mu, siap menjalankan ridha-Mu, tanpa gentar dalam semangat dan tanpa kelemahan dalam kemauan, sang penjaga wahyu-Mu, pemelihara janji-Mu dan pelaksana perintah-Mu sehingga ia nyalakan cahaya kebenaran pada yang mencarinya, jalan-jalan nikmat Allah terus mengalir pada ahlinya, hanya dengan Muhammad hati yang tersesat memperoleh petunjuk setelah menyelami kekufuran dan kemaksiatan, ia (Muhammad) telah memperindah rambu-rambu yang terang, hukum-hukum yang bercahaya dan cahaya-cahaya Islam yang menerangi, dialah (Muhammad) orang jujur yang dipercaya oleh-Mu dan penyimpan ilmu-Mu yang tersembunyi, saksi-Mu di hari kiamat, utusan-Mu yang membawa nikmat, rasul-Mu yang membawa rahmat dengan kebenaran. Ya Allah, luaskanlah surga-Mu baginya, balaslah dengan kebaikan yang berlipat ganda dari anugerah-Mu, yaitu kelipatan yang mudah dan bersih, dari pahala-Mu yang dapat diraih dan anugerah-Mu yang agung dan tidak pernah terputus. Ya Allah, berilah ia derajat tertinggi di antara manusia, muliakanlah tempat tinggal dan jamuannya di surga-Mu, sempurnakanlah cahayanya, balaslah jasanya sebagai utusan-Mu dengan kesaksian yang diterima, ucapan yang diridhai, pemilik ucapan yang lurus, jalan pemisah antara yang benar dan yang bathil dan hujjah yang kuat.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur, Ibnu Jarir dalam Tahdzib al-Atsar, Ibnu Abi Ashim, Ya’qub bin Syaibah dalam Akhbar ‘Ali, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (29520), al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath (9089) dan lain-lain. Hadits ini juga dikutip oleh ahli hadits sesudah mereka seperti al-Hafizh al-Qadhi Iyadh dalam al-Syifa, al-Hafizh al-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’, Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Durr al-Mandhud, al-Hafizh al-Ghummari dalam Itqan al-Shan’ah dan lain-lain. Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir, redaksi shalawat ini populer dari Ali bin Abi Thalib ‘alaihissalam
.
Ketiga, sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallaahu ‘anhuma:

وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما أَنَّهُ كَانَ إِذَا صَلَّى عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ شَفَاعَةَ مُحَمَّدٍ الْكُبْرَى وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ الْعُلْيَا وَأَعْطِهِ سُؤْلَهُ فِي اْلآخِرَةِ وَاْلأُوْلَى كَمَا آتَيْتَ إِبْرَاهِيْمَ وَمُوْسَى.

“Ibn Abbas radhiyallaahu ‘anhuma apabila membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata: “Ya Allah kabulkanlah syafa’at Muhammad yang agung, tinggikanlah derajatnya yang luhur, dan berilah permohonannya di dunia dan akhirat sebagaimana Engkau kabulkan permohonan Ibrahim dan Musa.”

Hadits ini diriwayatkan oleh Abd bin Humaid dalam al-Musnad, Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (3104) dan Ismail al-Qadhi dalam Fahdl al-Shalat ‘Ala al-Nabiy shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 52). Hadits ini juga disebutkan oleh Ibn al-Qayyim dalam Jala’ al-Afham (hal. 76). Al-Hafizh al-Sakhawi mengatakan dalam al-Qaul al-Badi’ (hal. 46), sanad hadits ini jayyid, kuat dan shahih.”

Demikianlah beberapa anjuran dan shalawat yang diriwayatkan dari para sahabat. Sedangkan shalawat yang disusun oleh para ulama setelah generasi sahabat, seperti tabi’in dan generasi sesudahnya sangat banyak dan tidak bisa dihitung. Anda bisa membaca dalam kitab-kitab shalawat yang ditulis oleh para ulama ahli hadits, misalnya al-Qaul al-Badi’ karya al-Hafizh al-Sakhawi, Jila’ al-Afham karya Syaikh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dan lain-lain”.

Wahabi: “Ternyata dalil shalawat-shalawat yang dibaca oleh mayoritas umat Islam, sangat kuat dalilnya. Lalu mengapa para ustadz kami alergi dengan shalawat tersebut?”
Sunni: “Ya maklum kan Wahabi. Alergi terhadap kebaikan yang diajarkan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan ahli hadits.”

0 Response to "Hukum Membaca SHALAWAT NARIYAH"

Post a Comment